Ads (728x90)


postviews postviews postviews

Dilihat kali

 
Fhoto : istimewa

JAKARTA, Realitasnews.com  – Beberapa tahun lalu, Polri maupun TNI disibukkan untuk menaklukkan kelompok Mujahiddin Indonesia Timur (MIT). Namun, setelah pucuk pimpinan MIT, Santoso alias Abu Wardah mati dan para petingginya tertangkap, kelompok ini mulai dianggap sebelah mata ancaman terornya.

Kini, pemerintah difokuskan menghadapi kelompok Bahrun Naim. Dia adalah pentolan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang berasal dari Indonesia. Di Indonesia, Bahrun juga memiliki sel-sel yang belakangan mulai menunjukkan aksinya dan ada beberapa yang tertangkap.


"Penangkapan di Bekasi memberi legitimasi bagi aparat keamanan untuk menyatakan kelompok ini masih eksis dan masih terus menghubungkan dirinya dengan ISIS," ucap Khairul Fahmi selaku pengamat intelijen dari Institute for Security adan Strategic Studies dikutip Okezone, Minggu (11/12/2016).

Bahkan, dia menyebut kelompok ini adalah energi baru kelompok teror di Indonesia. Menurutnya, pasca-kematian Santoso, sisa-sisa anggota MIT turut bergabung ke kelompok Bahrun Naim.

"Dugaan ini diperkuat dengan temuan bom berdaya ledak tinggi di lokasi penangkapan. Sebelum kocar-kacir, MIT sempat diklaim memiliki akses terhadap persenjataan berdaya ledak tinggi. Sementara kelompok Bahrun Naim selama ini diketahui asyik bermain petasan," terang dia.

Lanjut dia menuturkan, di sisi lain, konsolidasi kelompok kanan yang sukses melalui aksi 411 dan 212 juga melahirkan kegairahan baru. "Apa yang disebut sebagai muslim 'anyaran', berpotensi salah jalur dan justru 'terekrut' oleh kelompok-kelompok 'baru' yang terafiliasi dengan jaringan teror," ucap dia.

Menurut Khairul, aktivitas yang menguat dengan energi-energi 'baru' pasca-MIT, ditambah kompetisi dengan Abu Sayyaf Group (ASG), membawa konsekuensi eskalasi potensi ancaman teror di Indonesia.

"Tentu saja, sasaran prioritasnya tetap. Area publik, fasilitas pemerintah, keamanan dan keagamaan yang rawan dan kurang waspada, terutama di ibu kota negara. Secara acak akan paling berpeluang mendapat serangan simultan melibatkan bom berdaya ledak tinggi maupun rendah, senjata api, dan sarana lainnya. Ancaman hari ini terhadap istana tentu saja sangat mudah dikaitkan dengan itu," dia menjabarkan.

Bagi dia, untuk mengatasi hal itu aparat keamanan harus meningkatkan kewaspadaan dan membagikannya dengan masyarakat.

"Tapi, jangan berandai-andai ISIS menginfiltrasi ormas. Bedakan radikalisme dengan ekstremisme. Kecuali para pemangku kepentingan lebih tertarik memikirkan cara menghegemoni kelompok kritis dan menghantui warga, ketimbang penanggulangan terorisme yang konkret," sambungnya.

Selain itu, tambah dia, ancaman bom oleh kelompok teror yang baru saja ditangkap di Bekasi terhadap Istana Negara yang notabene berada di bawah tanggung jawab Paspampres, jangan kemudian dibawa ke dalam isu berlarutnya pembahasan RUU Anti Terorisme yang diwarnai polemik soal peningkatan peran TNI dalam pemberantasan teror.

"Penegakan hukum, peran intelijen, dan komunikasi politik pemerintah harus dikedepankan. Bagaimanapun, perang global melawan terorisme telah gagal. Bukannya mereda, kelompok teror bahkan bermetamorfosis menjadi kelompok aksi insurgensi dengan persenjataan memadai, dukungan logistik dan teroganisir rapi," kata dia.

Kemudian dia menyinggung soal insurgensi. Menurut dia, tentu saja lawan efektifnya adalah operasi militer.
"Apakah ini semua hendak mengarah dan digiring ke sana? Semoga tidak. Biayanya sangat mahal dan lebih baik digunakan untuk memperkuat daya tahan masyarakat. Karena virus terorisme masih akan tetap eksis selama kita belum bisa menghilangkan ketidakadilan, kesenjangan, kemiskinan dan kebodohan," tukasnya.
 
(okezone.com)

Posting Komentar

Disqus