Ads (728x90)


postviews postviews postviews

Dilihat kali

 
Massa dari berbagai elemen seperti Front Pembela Islam (FPI), Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII), Laskar Mujahin, Pelajar Islam Indonesia, dan lainnya, berunjuk rasa. (Bayu Marhaenjati) (Fhoto : beritasatu.com)

JAKARTA, realitasnews.com  – Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58/2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (ormas). PP ini ditandatangani Presiden pada 2 Desember 2016.

Demikian seperti dilansir situs Setkab.go.id, Jumat (9/12/2016). PP dibuat dengan pertimbangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 19, Pasal 40 ayat (7), Pasal 42 ayat (3), Pasal 50, Pasal 56, Pasal 57 ayat (3), dan Pasal 82 UU Ormas.

Menurut PP ini, ormas didirikan oleh tiga orang Warga Negara Indonesia atau lebih, kecuali ormas yang berbadan hukum yayasan. “Ormas dapat berbentuk: a. badan hukum; atau b. tidak berbadan hukum,” bunyi Pasal 3 ayat (1) PP tersebut.

Ormas berbadan hukum, menurut PP ini, dapat berbentuk perkumpulan atau yayasan. Sementara ormas tidak berbadan hukum dapat memiliki struktur kepengurusan berjenjang atau tidak berjenjang, sesuai Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) ormas.

PP ini menegaskan, ormas berbadan hukum dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan pengesahan badan hukum dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Dalam hal ormas sudah mendapatkan pengesahan badan hukum, menurut PP ini, maka ormas tersebut tidak lagi memerlukan Surat Keterangan Terdaftar (SKT).

Adapun ormas tidak berbadan hukum, menurut PP ini, dinyatakan terdaftar setelah mendapatkan SKT yang diterbitkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam negeri.

Pendaftaran ormas yang memiliki stuktur kepengurusan berjenjang, menurut PP ini, dilakukan pengurus ormas di tingkat pusat. Selanjutnya pengurus ormas sebagaimana dimaksud melaporkan keberadaan kepengurusannya di daerah kepada pemerintah daerah setempat dengan melampirkan SKT dan kepengurusan daerah.

(beritasatu.com)
Demikian juga ormas yang telah mendapatkan pengesahan badan hukum harus melaporkan keberadaan pengurusnya di daerah kepada Pemerintah Daerah setempat dengan melaporkan surat keputusan pengesahan statis badan hukum dan susunan kepengurusan di daerah.

“Pengurus ormas harus mengajukan perubahan SKT apabila terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, nomor pokok wajib pajak, dan/atau alamat Ormas,” tegas Pasal 16 PP ini.

Ormas Warga Asing

Menurut PP ini, ormas yang didirikan oleh warga negara asing dapat melakukan kegiatan di wilayah Indonesia, yang terdiri atas: a. badan hukum yayasan asing atau sebutan lain; b. badan hukum yayasan yang didirikan oleh warga negara asing bersama warga negara Indonesia; atau c. badan hukum yayasan yang didirikan oleh badan hukum asing.

“Ormas badan hukum yayasan asing atau sebutan lain sebagaimana dimaksud wajib memiliki izin prinsip yang diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan luar negeri dan izin operasional yang diberikan oleh pemerintah atau pemerintah daerah,” bunyi Pasal 35 PP 58/2016.

Badan hukum sebagaimana dimaksud, menurut PP ini, disahkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang hukum dan HAM setelah mendapatkan pertimbangan Tim Perizinan.

Untuk meningkatkan kinerja dan akuntabilitas serta menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan ormas, menurut PP ini, dilakukan pengawasan secara internal dan eksternal.

Pengawasan internal dilakukan oleh pengawas internal, dan berfungsi menegakkan kode etik organisasi. Sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh masyarakat, Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah.

“Pengawasan eksternal oleh pemerintah dikoordinasikan oleh: a. Menteri untuk Ormas berbadan hukum Indonesia dan tidak berbadan hukum; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri bagi Ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain,” bunyi Pasal 45 ayat (2a, b)

PP ini juga menegaskan, bahwa pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai lingkup tugas dan kewenangannya menjatuhkan sanksi administratif kepada ormas yang melanggar kewajiban dan larangan.

Sanksi administratif itu terdiri dari: a. peringatan tertulis; b. penghentian bantuan dan/atau hibah; c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau d. pencabutan SKT atau pencabutan status badan hukum.

Ditegaskan dalam PP ini, penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan ormas oleh Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung.

Dalam hal ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan, maka menurut PP ini, menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat menjatuhkan sanksi status badan hukum.

Ketentuan mengenai penjatuhan sanksi terhadap ormas berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lain, menurut PP ini, diatur dengan peraturan pemerintah tersendiri.

“Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 74 PP No. 58 tahun 2016, yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly pada 6 Desember 2016 itu.

(beritasatu.com)

Posting Komentar

Disqus