Ads (728x90)


postviews postviews postviews

Dilihat kali

Opini Oleh.Zamroni,SH.MM
Oleh.Zamroni,SH.MM

Pada tanggal 24 April 2017 bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1438 H kita memperingati sebuah peristiwa besar tentang Keimanan yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW yaitu peristiwa Isra Mi’raj. Isra adalah perjalanan bumi yang dilakukan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram menuju Masjidil Aqsha di Palestina dan Mi'raj adalah perjalanan langit dari Masjidil Aqsha menuju langit, menembus takhta Sidratul Muntaha untuk kemudian menerima wahyu kewajiban salat lima waktu. Sebagaimana Firman Alloh SWT sebagai berikut :


“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS al-Isra’ (17): 1).

Isra dan Mi'raj bisa melambangkan bagaimana agama Islam tidak hanya berbicara tentang persoalan langit-ke Tuhanan, tapi juga ihwal keseharian kemasyarakatan dan kebangsaan.

Salah satu hikmah perjalanan Isra’ Mi’raj yang dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia adalah bahwa Setelah ada kesulitan akan datang kemudahan.


Sebagaimana firman Allah QS. Al Insyiroh (94): 5 yang berbunyi :


“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan”.


Bahwa pada saat itu Rasulullah mengalami cobaan dan kesulitan bertubi-tubi diantaranya meninggalnya istri dan pamannya yaitu Siti Khadijah dan Abu Tholib. Kemudian kaum Muslimin mengalami embargo ekonomi oleh orang-orang Quraisy. Bagi seorang mukmin cobaan dan kesulitan apapun tidak akan menggoyahkan keimanan karena ia yakin kemudahan dari Allah akan segera datang.


Peristiwa Isra Mi'raj menjelaskan bagaimana agama yang dibawa Muhammad SAW bergerak dalam garis lintang keseimbangan dunia dan akhirat.


Dalam konteks Kebangsaan kesadaran seperti itu nampaknya yang menjadi asbabunnuzul yang terpikir dalam layar bawah sadar ketika para pendiri bangsa merumuskan dasar negara.  Sila pertama ialah 'Mi'raj', dan empat sila susulannya menunjukkan tentang kesadaran 'Isra'.


Dengan kata lain, Isra Mi'raj harus dimaknai secara Ke Tuhanan, sekaligus secara sosial kebangsaan. Bangsa yang telah mengalami isra Mi'raj tidak saja mampu menanamkan keinsafan teologis 'ke Tuhanan yang Maha Esa', tapi juga sigap membumikan imperative etiknya berupa 'kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan, kebijaksanaan, kesejahteraan', dan 'keadilan'.


Dalam menyambut Isra Mi'raj dan memaknai peristiwa itu dalam pemaknaan 'keImanan, semakin relevan untuk kita tengok kembali justru ketika anak bangsa banyak yang tergoda fantasi“negative” politik yang sama sekali berseberangan dengan Pancasila.


Isra Mi'raj dan  keimanan menjadi sangat penting ketika uang dan kekuasaan menjadi daulat utama.


Isra Mi,raj dalam napas kebangsaan seperti itu dapat meneguhkan bahwa rute kebangsaan yang berke Tuhanan ialah persyaratan mutlak agar keagamaan dan kebangsaan kita memiliki nilai dan fungsi nyata dalam sejarah pengalaman keseharian. Agar keragaman agama dan budaya menjadi energi yang menggerakkan bangsa ini menuju kesejahteraan lahir batin, bangsa yang toleran. Bangsa yang bisa bermi'raj kelangit keutamaan dan berisra, terhunjam dalam akar keluhuran kearifan tradisional yang terbentang sepanjang khatulistiwa.


Semoga lewat peringatan Isra Mi’raj tahun ini kita dapat lebih kuat dalam keimanan dan disiplin dalam kehidupan sehari-hari. Untuk para pemangku kepentingan baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif agar lebih baik lagi dan sadar bahwa kehidupan ini harus seimbang antara dunia dan akhirat agar dalam menjalankan amanah yang di embannya tidak berlaku sembarangan.

Wallahua’lambisshowab..


Tanjungpinang,24 April 2017 M - 27 Rajab 1438 H/ by. Zamroni,SH,.MM

Posting Komentar

Disqus